TEORI ETIKA DAN PENGAMBILAN
KEPUTUSAN ETIS
A.
Etika
Absolut versus Etika Relatif
Sampai
saat ini masih terjadi perdebatan dan perbedaan pandangan di antara para
etikawan tentang apakah etika bersifat absolut atau relatif. Para penganut
paham etika absolut dengan berbagai argumentasi yang masuk akal meyakini bahwa
ada prinsip-prinsip etika yang bersifat mutlak, berlaku universal kapan pun dan
dimana pun. Sementara itu, para penganut
etika relatif dengan berbagai argumentasi yang juga tampak masuk akal membantah
hal ini. Mereka justru mengatakan bahwa tidak ada prinsip atau nilai moral yang
berlaku umum. Prinsip atau nilai moral yang ada dalam masyarakat berbeda-beda
untuk masyarakat yang berbeda dan situasi yang berbeda pula.
Di
antara tokoh-tokoh berpengaruh yang mendukung pahak etika relatif adalah Joseph
Fletcher (dalam Suseno, 2006), yang terkenal dengan teori etika situasional-nya.
Ia menolak adanya norma-norma moral umum karena kewajiban moral selalu
bergantung pada situasi konkret, dan situasi konkret ini dalam kesehaeriannya
tidak pernah sama.
Tokoh
berpengaruh pendukung paham etika absolut antara lain Immanuel Kant dan James
Rachels. Ada pokok teoritis yang umum di mana ada aturan-aturan moral tertentu
yang dianut secara bersama-sama oleh semua masyarakat karena aturan-aturan itu
penting untuk keleastarian masyarakat. Misalnya, aturan melawan kebohongan dan
pembunuhan hanyalah dua contoh yang masih berlaku dalam semua kebudayaan yang
tetap hidup, walaupun juga diakui bahwa dalam setiap aturan umum tentu saja ada
pengecualiannya.
B.
Perkembangan
Perilaku Moral
Teori
perkembangan moral banyak dibahas dalam ilmu psikologi. Salah satu teori yang
sangat berpengaruh dikemukakan oleh Kohlberg (dalam Atkinson et.al., 1996)
dengan mengemukakan tiga tahap perkembangan moral dihubungkan dengan
pertumbuhan (usia) anak.
Tingkat (Level)
|
Sublevel
|
Ciri Menonjol
|
Tingkat I
(Preconventional)
Usia < 10 tahun
|
1.
Orientasi pada hukuman
|
Mematuhi
peratuan untuk menghindari hukuman
|
2.
Orientasi pada hadiah
|
Menyesuaikan
diri untuk memperoleh hadiah/pujian
|
|
Tingkat II
(Conventional)
Usia 10-13 tahun
|
3.
Orientasi anak baik
|
Menyesuaikan
diri untuk menghindari celaan orang lain
|
4.
Orientasi otoritas
|
Mematuhi
hukum dan peraturan sosial untuk menghindari kecaman dari otoritas dan
perasaan bersalah karena tidak melakukan kewajiban
|
|
Tingkat III
(Postconventional)
Usia > 13 tahun
|
5.
Orientasi kontrak sosial
|
Tindakan
yang dilaksanakan atas dasar prinsip yang disepakati bersama masyarakat demi
kehormatan diri
|
6.
Orientasi prinsip etika
|
Tindakan
yang didasarkan atas prinsip etika yang diyakini diri sendiri untuk
menghindari penghukuman diri
|
C.
Teori-Teori
Etika
Suatu pengetahuan
tentang suatu objek baru bisa dianggap sebagai disiplin ilmu bila pengetahuan
tersebut telah dilengkapi dengan seperangkat teori tentang objek yang dikaji.
Jadi, teori merupakan tulang punggung suatu ilmu.
Ilmu pada
dasarnya adalah kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala
alam (dan sosial) yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan
untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada, sedangkan teori adalah pengetahuan ilmiah yang
mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin
keilmuan (Suriasumantri, 2000)
Untuk
memperoleh pemahaman tentang berbagai teori etika yang berkembang, berikut ini
diuraikan secara garis besar beberapa teori yang berpengaruh.
a.
Egoisme
Rachels (2004)
memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme, yaitu:
1) Egoisme psikologis,
yaitu suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh
kepentingan berkutat diri (selfish).
Menurut teori ini, orang boleh saja yakin bahwa ada tindakan mereka yang bersifat
luhur dan suka berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau
tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah ilusi. Pada kenyataannya, setiap
orang hanya peduli pada dirinya sendiri.
2) Egoisme etis,
yaitu tindakan yang dilandasi oleh kepentingan diri sendiri (self-interest). Bila saya belajar sampai
larut malam agar bisa lulus ujian, atau saya bekerja keras agar memperoleh
penghasilan yang lebih besar, atau saya mandi agar badan saya bersih, maka
semua tindakan saya ini dapat dikatakan dilandasi oleh kepentingan diri.
Jadi,
yang membedakan tindakan berkutat diri (egoisme
psikologis) dengan tindakan untuk kepentingan diri (egoisme etis) adalah pada akibatnya
terhadap orang lain. Tindakan berkutat
diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang
lain, sedangkan tindakan mementingkan
diri tidak selalu merugikan kepentingan orang lain.
b.
Utilitarianisme
Egoisme
etis melihat dari sudut pandang kepentingan individu,
sedangkan paham utilitarianisme melihat
dari sudut kepentingan orang banyak (kepentingan bersama, kepentingan
masyarakat). Paham utilitarianisme dapat
diringkas sebagai berikut:
(1) Tindakan
harus dinilai benar atau salah hanya dari konsekuensinya (akibat, tujuan, atau
hasilnya).
(2) Dalam
mengukur akibat dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah
jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
(3) Kesejahteraan
setiap orang sama pentingnya.
c.
Deontologi
Paham deontologi mengatakan bahwa etis
tidaknya suatu tindakan tidak ada
kaitannya sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan
tersebut. Suatu perbuatan tidak pernah menjadi baik karena hasilnya baik.
Hasil baik tidak pernah menjadi alasan untuk membenarkan suatu tindakan,
melainkan hanya karena kita wajib melaksanakan tindakan tersebut demi kewajiban
itu sendiri.
d.
Teori
Hak
Menurut teori hak,
suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan
tersebut sesuai dengan hak asasi manusia (HAM).
e.
Teori
Keutamaan (Virtue Tehory)
Teori keutamaan tidak
menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Dasar
pemikiran teori keutamaan berangkat dari pertanyaan mengenai sifat-sifat atau
karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau
karakter yang harus mencerminkan manusia
hina. Dengan demikian, karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai
disposisi sifat/watak yang telah melekat/dimiliki oleh seseorang dan
memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku yang secara moral dinilai baik.
Bartens (2000) memberikan beberapa contoh sifat keutamaan, antara lain:
kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati. Sedangkan untuk pelaku bisnis,
sifat-sifat utama yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness), kepercayaan, dan keuletan.
f.
Teori
Etika Teonom
Peschke S. V. D (2003)
mengkritik berbagai paham/aliran teori etika yang telah ada. Keterbatasan
teori-teori yang ada adalah mereka tidak mengakui adanya kekuatan tak terbatas
(Tuhan) yang ada di belakang semua hakikat keberadaan alam semesta ini. Oleh
karena itu, mereka keliru menafsirkan tujuan hidup manusia hanya untuk
memperoleh kebahagiaan/kenikmatan yang bersifat duniawi saja.
Setiap manusia telah diberikan Tuhan
potensi kecerdasan tak terbatas (kecerdasan hati nurani, intuisi, kecerdasan
spiritual, atau apa pun sebutan lainnya) yang melampaui kecerdasan rasional.
Tujuan tertinggi umat manusia hanya dapat dicapai bila potensi kecerdasan tak
terbatas ini bisa dimanfaatkan.
D.
Teori
Etika dan Hubungannya dengan Paradigma Hakikat Manusia dan Kecerdasan
No.
|
Teori
|
Paradigma
|
|||
Penalaran
Teori
|
Kriteria
Etis
|
Tujuan
Hidup
|
Hakikat
Manusia dan Kecerdasan
|
||
1
|
Egoisme
|
Tinjauan dari tinakan
|
Memenuhi kepentingan
pribadi
|
Kenikmatan duniawi
secara individu
|
Hakikat tidak utuh
(PQ, IQ)
|
2
|
Utilitarianisme
|
Tujuan dari tindakan
|
Memberi
manfaat/kegunaan bagi banyak orang
|
Kesejahteraan duniawi
masyarakat
|
Hakikat tidak utuh
(PQ, IQ, EQ)
|
3
|
Deontologi – Kant
|
Tindakan itu sendiri
|
Kewajiban mutlak
setiap orang
|
Demi kewajiban itu
sendiri
|
Hakikat tidak utuh
(IQ, EQ)
|
4
|
Teori Hak
|
Tingkat kepatuhan
terhadap HAM
|
Aturan tentang hak
asasi manusia (HAM)
|
Demi martabat
kemanusiaan
|
Hakikat tidak utuh
(IQ)
|
5
|
Teori Keutamaan
|
Disposisi karakter
|
Karakter
positif-negatif individu
|
Kebahagiaan duniawi
dan mental (psikologis)
|
Hakikat tidak utuh
(IQ, EQ)
|
6
|
Teori Teonom
|
Disposisi karakter
dan tingkat keimanan
|
Karakter mulia dan
mematuhi kitab suci agama masing-masing individ dan masyakarat
|
Kebahagiaan rohani
(surgawi, akhirat, moksa, nirmala), mental, dan duniawi
|
Hakikat utuh
(PQ, IQ, EQ, SQ)
|
Cara
lain untuk melihat hubungan berbagai teori etika yang dapat dilihat pada tabel
berikut.
No.
|
Teori/Dimensi
|
Hubungan Teori
|
1
|
Tingkat
Kesadaran
|
Hewani Manusiawi Transendental
|
2
|
Teori Tindakan
|
Egoisme Utilitarianisme Teonom
|
3
|
Teori Hak dan
Kewajiban
|
Hak
Kewajiban
|
4
|
Teori Keutamaan
|
Manusia
Hina Manusia Utama
|
5
|
Tujuan/Nilai
|
Duniawi
Surgawi
|
6
|
Pemangku Kepentingan
|
Individu Masyarakat Tuhan
|
7
|
Kebutuhan
Maslow
|
Fisik Sosial Aktulisasi Diri
|
8
|
Tingkat Perkembangan
Kohlberg
|
Hukuman
Prinsip
|
9
|
Kecerdasan
Covey
|
PQ IQ, EQ SQ
|
10
|
Etika Nafis
|
Psiko
Etika Sosio Etika Teo Etika
|
E.
Kerangka
Kerja Pengambilan Keputusan Etis
Sebuah keputusan atau
tindakan dianggap etis atau ”benar” jika sesuai dengan standar tertentu. Para
filsuf telah mempelajari standar mana yang penting selama berabad-abad, dan
para ahli etika bisnis baru saja membangun hal ini dalam pekerjaannya. Kedua
kelompok telah mengungkapkan bahwa tidak cukup hanya satu standar saja untuk
memastikan keputusan etis. Akhirnya, kerangka kerja pengambilan keputusan etis
(ethical decision making-EDM)
mengusulkan bahwa keputusan atau tindakan akan dibandingkan dengan empat
standar penilaian yang komprehensif dari perilaku etis.
Kerangka
kerja EDM menilai etikalitas keputusan atau tindakan yang dibuat dengan
melihat:
1. Konsekuensi
atau kekayaan yang dibuat dalam hal keuntungan bersih atau biaya;
2. Hak
dan kewajiban yang terkena dampak;
3. Kesetaraan
yang dilibatkan;
4. Motivasi
atau kebijakan yang diharapkan.
Tiga pertimbangan pertama, yaitu–konsekuensialisme, deontologi, dan keadilan–ditelaah
dengan memfokuskan pada dampak dari keputusan pemegang saham dan pemangku
kepentingan lain, sebuah pendekatan yang dikenal sebagai analisis dampak pemangku kepentingan. Pertimbangan keempat–motivasi
pembuat keputusan, merupakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai etika kebajikan. Keempat pertimbangan
tersebut harus diperiksa secara menyeluruh dan nilai-nilai etika yang tepat
harus diterapkan dalam keputusan dan pelaksanaannya sehingga keputusan atau
tindakan dapat dipertahankan secara etis.
a. Pendekatan
Filosofis
·
Konsekuensialisme,
Utilitarianisme atau Teleologi
·
Konsekuensialisme bertujuan untuk memaksimalkan
hasil akhir dari sebuah keputusan
·
Sebuah perbuatan benar secara moral jika dan hanya
jika tindakan tersebut mampu memaksimalkan kebaikan bersih
b. Deontologi
·
Berfokus pada kewajiban atau tugas memotivasi
keputusan atau tindakan, bukan pada konsekuensi dari tindakan
·
Kebenaran bergantung pada rasa hormat yang ditunjukkan
dalam tugas, serta hak dan keadilan yang dicerminkan oleh tugas-tugas tersebut
c. Etika Kebajikan (virtue Etchis)
·
Etika
kebajikan berfokus pada karakter atau integritas moral para pelaku dan melihat pada moral masyarakat, seperti
masyarakat profesional untuk membantu mengidentifikasikan isu-isu etis dan
panduan tindakan etis
·
Tiga
kebajikan penting yaitu: keberanian, kesederhanaan dan keadilan
F.
Sniff Tests dan Aturan Praktis Umum–Tes Awal
Etikalitas Sebuah Keputusan
Sniff
Tests untuk Pengambilan Keputusan Etis:
Akankah
saya merasa nyaman jika tindakan atau keputusan ini muncul di halaman depan
surat kabar nasional besok pagi?
Akankah
saya bangga dengan keputusan ini?
Akankah
ibu saya bangga dengan keputusan ini?
Apakah
tindakan atau keputusan ini sesuai dengan misi dan kode etik perusahaan?
Apakah
hal ini terasa benar bagi saya?
Aturan Praktis untuk
Pengambilan Keputusan Etis:
Golden
rule:
perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan.
Peraturan Pengungkapan:
jika anda merasa nyaman dengan tindakan atau keputusan setelah bertanya pada
diri sendiri apakah Anda akan keberatan jika semua rekan, teman, dan keluarga
Anda menyadari hal itu, makan Anda harus bertindak atau memutuskan.
Etika Intuisi: lakukan
apa yang “firasat Anda” katakan untuk Anda lakukan.
Imperatif Kategoris:
jangan mengadopsi prinsip-prinsip tindakan, kecuali prinsip-prinsip tersebut
dapat, tanpa adanya inkonsistensi, diadopsi oleh orang lain.
Etika profesi:
lakukan hanya apa yang bisa Anda jelaskan di depan komite dari rekan-rekan
profesional Anda.
Prinsip Utilitarian:
lakukan “yang terbaik untuk jumlah terbesar”.
Prinsip Kebajikan:
lakukan apa yang menunjukkan kebajikan yang diharapkan.
G.
Pendekatan
dan Kriteria Pembuatan Keputusan Etis
Konsekuensi, Utilitas
|
Menguntungkan?
Manfaat > Biaya
Risiko disesuaikan
|
Tugas, Hak, Keadilan
|
Tugas fidusia
Hak-hak individu
Keadilan, Legalitas
|
Harapan Kebajikan
|
Karakter
Integritas,
Keberanian, Proses
|
H.
Kepentingan
Dasar Parra Pemangku Kepentingan
§ Kesejahteraan: Keputusan
yang diusulkan akan menghasilkan lebih banyak keuntungan daripada biaya.
§ Keadilan:
distribusi manfaat dan beban harus berimbang.
§ Hak:
keputusan yang diusulkan tidak boleh melanggar hak pemangku kepentingan dan
pembuat keputusan.
§ Sifat Kebajikan:
keputusan yang diusulkan harus menunjukkan kebajikan seperti yang diharapkan.
Keempat kepentingan
harus dipenuhi oleh sebuah keputusan untuk dipertimbangkan etis.
I.
Pendekatan
untuk Mengukur Dampak yang Dapat Dihitung dari Keputusan yang Diajukan
A. Hanya
laba atau rugi
B. A.
ditambah eksternalitas (dengan kata lain, Analisis Biaya-Manfaat/ABM)
C. B.
ditambah probabilitas hasil (dengan kata lain, analisis Risiko-Manfaat/RBA)
D. ABM
atau RBA ditambah peringkat pemangku kepentingan
J.
Penilaian
Dampak yang Tidak Dapat Dikuantifikasi
1. Keadilan
di antara para pemangku kepentingan
2. Hak
pemangku kepentingan
·
Kehidupan
·
Kesejahteraan dan keselamatan
·
Perlakuan adil
·
Penggunaan hati nurani
·
Harga diri dan privasi
·
Kebebasan berbicara
K.
Permasalahan
Dalam Pengambilan Keputusan Etis
a. Masalah bersama
b. Mengembangkan aksi yang lebih etis
c. Kekeliruan umum dalam pengambilan
keputusan etis
Menyetujui
budaya perusahaan yang tidak etis
Salah
menafsirkan harapan masyarakat
Berfokus
pada keuntungan jangka pendek dan dampak pada pemegang saham
Berfokus
hanya pada legalitas
Batas
keberimbangan
Batas
untuk meneliti hak
Konflik
kepentingan
Keterkaitan
di antara pemangku kepentingan
Kegagalan
untuk mengidentifikasi semua kelompok pemangku kepentingan
Kegagalan
untuk membuat peringkat kepentingan tertentu dari para pemangku kepentingan
Mengacuhkan
kekayaan, keadilan, atau hak
Kegagalan
untuk mempertimbangkan motivasi untuk keputusan
Kegagalan
untuk mempertimbangkan kebajikan yang diharapkan untuk ditunjukkan
L.
Langkah-langkah untuk sebuah
Keputusan Etis
1. Identifikasi
fakta dan semua kelompok pemanku
kepentingan serta kepentingan yang mungkin akan terpengaruh.
2. Membuat
peringkat para
pemangku kepentingan serta kepentingan mereka, identifikasi yang paling penting
dan lebih mempertimbangkan mereka dalam analisis.
3. Menilai
dampak dari tindakan yang diusulkan pada setiap kepentingan kelompok pemangku kepentingan
berkenaan dengan kekayaan mereka, keadilan perlakuan, dan hak-hak lainnya,
termasuk harapan kebajikan, menggunakan pertanyaan kerangka kerja yang
komprehensif, dan memastikan bahwa perangkap umum yang dibahas nanti tidak
masuk ke dalam analisis.
Tujuh
langkah analisis keputusan etis yang digariskan oleh AAA (1993) sebagai
berikut:
1. Tentukan fakta–apa, siapa, di mana,
kapan, dan bagaimana.
2. Menatapkan isu etis.
3. Mengidentifikasi prinsip-prinsip
utama, aturan, dan nilai-nilai.
4. Tentukan alternatif.
5. Bandingkan nilai-niai dan
alternatif, serta melihat apakah muncul keputusan yang jelas.
6. Menilai konsekuensi.
7. Membuat keputusan Anda.
Daftar
Pustaka
Agoes, Sukrisno dan I Cenik Ardana.
2011. Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan
Membangun Manusia Seutuhnya Edisi Revisi. Jakarta: Salemba Empat
Brooks. Leonard J. dan Paul Dunn. 2011. Etika Bisnis dan Profesi untuk Direktur,
Eksekutif, dan Akuntan Edisi 5 Buku 1. Diterjemahkan oleh: Kanti Pertiwi. Jakarta: Salemba Empat
0 komentar:
Posting Komentar